MANFAAT PELATIHAN ALAM TERBUKA

Ide pendidikan di alam terbuka dengan metode “belajar dari pengalaman” (experiental learning) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman dulu. Filsuf Yunani, Aristoteles, pernah mengatakan pentingnya belajar dari pengalaman. Ia memberi petuah manjur, “Apa yang harus kita pelajari, kita pelajari sambil melakukannya.(What we have to learn to do, we learn bydoing)” Wien Soehardjo, salah seorang pehobi petualangan di alam terbuka menjelaskan bahwa ahli psikologi pendidikan Harvard, Howard Gardner telah mengidentifikasi perbedaan antara pendidikan sekolah dan pendidikan di luar ruang (outdoor education). Yang pertama tadi biasanya disebut scholastic knowledge. Pendidikan model ini sudah dibatasi secara ketat oleh “setting” sekolahan. “Setting ini cenderung teoretis,” tegas Wien.
Di sisi lain, belajar di luar ruang lebih mengedepankan metode connected knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata). Di sini, pendidikan dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan.

Wien yang juga instruktur belajar dari pengalaman mengatakan bahwa konsep belajar di luar ruang sama sekali berbeda dengan proses belajar-mengajar di dalam kelas. Belajar di alam memakai seluruh lingkungan peserta belajar sebagai sumber pengetahuan, dalam konteks belajar. Artinya, interaksi dalam proses belajar-mengajar pada pendidikan alam terbuka mempertemukan ide-ide atau gagasan dari setiap individu sebagai salah satu sumber belajar.
“Jangan lupa, penekanan outdoor education lebih dari sekadar belajar tentang alam, walaupun belajar tentang alam lingkungan merupakan aspek penting dalam tradisi pendidikan di alam terbuka,” pesan Wien.

Berdasar catatan, salah seorang pioneer dalam pendekatan proses belajar di alam terbuka adalah John Dewey (1938). Ia sudah memprediksikan bahwa di masa depan, sekolah merupakan sebuah miniatur masyarakat demokratis. Belajar dari pengalaman menjadi sebuah komponen penting dalam pendidikan.

Setelah Dewey, ada Kurt Hann (1941). Hann mendapat tawaran kerjaan dari Lawrence Holt -pengusaha kapal dagang. Holt punya masalah: kinerja antar-awak kapalnya rendah sekali, terutama soal kerja sama tim ini sangat kurang. Akhirnya, Kurt Hann menerima tawaran itu. Untuk mengatasi persoalan tadi, ia mengadaptasi konsep, outward bound.

Dalam konsep ini, Hahn mengembangkan sebuah program pelatihan fisik bagi para awak kapal sebagai medium mereka untuk belajar mematangkan diri dan mengenal lebih dalam tentang potensi diri mereka masing-masing. Konsep pelatihan tantangan Hahn pada intinya didasarkan atas perpaduan empat unsur, yakni: tempat, isi program, simulator, dan kegiatan berbasis petualangan. Metode pelatihan dengan memanfaatkan tantangan di alam terbuka oleh Hahn tersebut kemudian dikenal dengan outward bound dan kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia. Metode pelatihan tantangan di alam terbuka Hahn ditujukan sebagai katalis, sebagai medium perubahan dan membantu setiap peserta untuk lebih dapat menemukan pengenalan diri sendiri dan memahami orang lain. Akhirnya, seperti kita tahu, konsep pendidikan ini kemudian berkembang sejak tahun 1970-an di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia outward bound masuk lewat orang-orang yang punya kecintaan pada petualangan di alam bebas. Alat-alat yang dibutuhkan mengharuskan penyelenggara untuk memiliki latar belakang kemampuan teknis. Paling kentara adalah untuk mengeset alat.

Lagipula kalau kita lihat pada materi salah satu pendekatan belajar di luar ruang, adventure education (pendidikan petualangan), mengharuskan pihak operator mengadakan pembelajaran di alam terbuka. Malahan tak jarang mengambil tempat di daerah yang sulit, misalnya di hutan atau di gunung.

Di dalamnya, ada permainan macam navigasi darat dengan memakai peta-kompas atau rope salah courses (permaianan dengan memakai tali-tali), yang mana permainan ini sudah menjadi “makanan” para pehobi petualangan alam bebas di sini. Ternyata, konsep outward bound itu amat disukai di sini. Supaya gampang menyebut orang kita pun latah untuk mengucapkan outbond